A.
Definisi
Sybercrime
Cybercrime adalah tindakan pidana kriminal yang dilakukan
pada teknologi internet (cyberspace), baik yang menyerang fasilitas umum di
dalam cyberspace ataupun kepemilikan pribadi. Secara teknik tindak pidana
tersebut dapat dibedakan menjadi off-line crime, semi on-line crime, dan
cybercrime. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, namun perbedaan
utama antara ketiganya adalah keterhubungan dengan jaringan informasi publik
(internet). Cybercrime dapat didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi
komputer dan telekomunikasi.
The Prevention of Crime and The Treatment of
Offlenderes di Havana, Cuba pada tahun 1999 dan di Wina, Austria tahun 2000,
menyebutkan ada 2 istilah yang dikenal:
1.
Cybercrime dalam arti sempit disebut computer crime, yaitu prilaku ilegal/
melanggar yang secara langsung menyerang sistem keamanan komputer dan/atau data
yang diproses oleh komputer.
2.
Cybercrime dalam arti luas disebut computer related crime, yaitu prilaku
ilegal/ melanggar yang berkaitan dengan sistem komputer atau jaringan.
Dari
beberapa pengertian di atas, cybercrime dirumuskan sebagai perbuatan melawan
hukum yang dilakukan dengan memakai jaringan komputer sebagai sarana/ alat atau
komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan
merugikan pihak lain.
B.
Motif Cybercrime
Motif pelaku kejahatan di dunia maya (cybercrime) pada
umumnya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu : Motif pelaku
kejahatan di dunia maya (cybercrime) pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi
dua kategori, yaitu
1.
Motif intelektual, yaitu kejahatan yang dilakukan hanya untuk kepuasan pribadi
dan menunjukkan bahwa dirinya telah mampu untuk merekayasa dan
mengimplementasikan bidang teknologi informasi. Kejahatan dengan motif ini pada
umumnya dilakukan oleh seseorang secara individual.
2.
Motif ekonomi, politik, dan kriminal, yaitu kejahatan yang dilakukan untuk
keuntungan pribadi atau golongan tertentu yang berdampak pada kerugian secara
ekonomi dan politik pada pihak lain. Karena memiliki tujuan yang dapat
berdampak besar, kejahatan dengan motif ini pada umumnya dilakukan oleh sebuah
korporasi.
C.
Penyebab Munculnya Cybercrime
Jika dipandang dari sudut pandang yang lebih luas,
latar belakang terjadinya kejahatan di dunia maya ini terbagi menjadi dua
faktor penting, yaitu :
1.
Faktor Teknis
Dengan adanya teknologi internet akan menghilangkan
batas wilayah negara yang menjadikan dunia ini menjadi begitu dekat dan sempit.
Saling terhubungnya antara jaringan yang satu dengan yang lain memudahkan
pelaku kejahatan untuk melakukan aksinya. Kemudian, tidak meratanya penyebaran
teknologi menjadikan pihak yang satu lebih kuat daripada yang lain.
2.
Faktor Sosial ekonomi
Cybercrime dapat dipandang sebagai produk ekonomi. Isu
global yang kemudian dihubungkan dengan kejahatan tersebut adalah keamanan
jaringan. Keamanan jaringan merupakan isu global yang muncul bersamaan dengan
internet. Sebagai komoditi ekonomi, banyak negara yang tentunya sangat
membutuhkan perangkat keamanan jaringan. Melihat kenyataan seperti itu,
Cybercrime berada dalam skenerio besar dari kegiatan ekonomi dunia.
D.
Jenis-Jenis Cybercrime
Pengelompokan jenis – jenis cybercrime dapat
dikelompokkan dalam banyak kategori. Bernstein, Bainbridge, Philip Renata,
As’ad Yusuf, sampai dengan seorang Roy Suryo pun telah membuat pengelompokkan
masing-masing terkait dengan cybercrime ini. Salah satu pemisahan jenis
cybercrime yang umum dikenal adalah kategori berdasarkan motif pelakunya
:
1.
Sebagai tindak kejahatan Murni
Kejahatan terjadi secara sengaja dan terencana untuk
melakukan perusakan, pencurian, tindakan anarkis terhadap sistem informasi atau
sistem komputer. (tindak kriminal dan memiliki motif kriminalitas) dan biasanya
menggunakan internet hanya sebagai sarana kejahatan. Contoh Kasus: Carding,
yaitu pencurian nomor kartu kredit milik orang lain untuk digunakan dalam
transaksi perdagangan di internet, Pengirim e-mail anonim yang berisi promosi
(spamming).
2.
Sebagai tindak kejahatan Abu-abu (tidak jelas)
Kejahatan terjadi terhadap sistem komputer tetapi
tidak melakukan perusakan, pencurian, tindakan anarkis terhadap sistem
informasi atau sistem komputer. Contoh Kasus: Probing atau Portscanning; yaitu
semacam tindakan pengintaian terhadap sistem milik orang lain dengan
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari sistem yang diintai, termasuk
sistem operasi yang digunakan, port-port yang ada, baik yang terbuka maupun
tertutup, dan sebagainya.
Convention on Cybercrime yang diadakan oleh Council of
Europe dan terbuka untuk ditandatangani mulai tanggal 23 November 2001 di
Budapest menguraikan jenis-jenis kejahatan yang harus diatur dalam hukum pidana
substantif oleh negara-negara pesertanya, terdiri dari :
Tindak pidana yang berkaitan dengan kerahasiaan,
integritas dan keberadaan data dan sistem komputer: Illegal access (melakukan
akses tidak sah), Illegal interception (intersepsi secara tidak sah), Data
interference (menggangu data), System interference (mengganggu pada sistem),
Misuse of devices (menyalahgunakan alat).
Tindak pidana yang berkaitan dengan komputer:
Computer-related forgery (pemalsuan melalui komputer), Computer-related fraud
(penipuan melalui komputer).
Tindak
pidana yang berhubungan dengan isi atau muatan data atau sistem komputer:
Offences related to child pornography (Tindak pidana yang berkaitan dengan
pornografi anak). Tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta dan
hak-hak terkait.
E. Pencegahan Cybercrime
Cyber Crime merupakan kejahatan yang
dilakukan dengan dan memanfaatkan teknologi, sehingga pencegahan dan
penanggulangan dengan sarana penal tidaklah cukup. Untuk itu diperlukan sarana
lain berupa teknologi itu sendiri sebagai sarana non penal. Teknologi itu
sendiripun sebetulnya belum cukup jika tidak ada kerjasama dengan individu
maupun institusi yang mendukungnya. Pengalaman negara-negara lain membuktikan
bahwa kerjasama yang baik antara pemerintah, aparat penegak hukum, individu
maupun institusi dapat menekan terjadinya cybercrime.
Tidak ada jaminan keamanan di
cyberspace, dan tidak ada sistem keamanan computer yang mampu secara terus
menerus melindungi data yang ada di dalamnya. Para hacker akan terus mencoba
untuk menaklukkan sistem keamanan yang paling canggih, dan merupakan kepuasan
tersendiri bagi hacker jika dapat membobol sistem keamanan komputer orang lain.
Langkah yang baik adalah dengan selalu memutakhirkan sistem keamanan computer
dan melindungi data yang dikirim dengan teknologi yang mutakhir pula.
Pada persoalan cyberporn atau cyber
sex . persoalan pencegahan dan penanggulangannya tidaklah cukup hanya dengan
melakukan kriminalisasi yang terumus dalam bunyi pasal. Diperlukan upaya lain
agar pencegahannya dapat dilakukan secara efektif. Pengalaman beberapa Negara
menunjukkan bahwa kerjasama antara pemerintah, aparat penegak hukum, LSM/NGO
dan masyarakat dapat mengurangi angka kriminalitas. Berikut pengalaman beberapa
Negara itu:
• Swedia, perusahaan keamanan internet, NetClean
Technology bekerjasama dengan Swedish National Criminal Police Department dan
NGO ECPAT, mengembangkan program software untuk memudahkan pelaporan tentang
pornografi anak. Setiap orang dapat mendownload dan menginstalnya ke computer.
Ketika seseorang meragukan apakah material yang ada di internet itu legal atau
tidak, orang tersebut dapat menggunakan software itu dan secara langsung akan
segera mendapat jawaban dari ECPAT Swedia.
• Inggris, British Telecom mengembangkan program yang dinamakan Cleanfeed untuk memblok situs pornografi anak sejak Juni 2004. Untuk memblok situ situ, British Telecom menggunakan daftar hitam dari Interent Watch Foundation (IWF). Saat ini British Telecom memblok kira-kira 35.000 akses illegal ke situs tersebut. Dalam memutuskan apakah suatu situ hendak diblok atau tidak, IWF bekerjasama dengan Kepolisian Inggris. Daftar situ itu disebarluaskan kepada setiap ISP, penyedia layanan isi internet, perusahaan filter/software dan operator mobile phone.
• Inggris, British Telecom mengembangkan program yang dinamakan Cleanfeed untuk memblok situs pornografi anak sejak Juni 2004. Untuk memblok situ situ, British Telecom menggunakan daftar hitam dari Interent Watch Foundation (IWF). Saat ini British Telecom memblok kira-kira 35.000 akses illegal ke situs tersebut. Dalam memutuskan apakah suatu situ hendak diblok atau tidak, IWF bekerjasama dengan Kepolisian Inggris. Daftar situ itu disebarluaskan kepada setiap ISP, penyedia layanan isi internet, perusahaan filter/software dan operator mobile phone.
• Norwegia mengikuti langkah Inggris dengan
bekerjasama antara Telenor dan Kepolisian Nasional Norwegia, Kripos. Kripos
menyediakan daftar situs child pornography dan Telenor memblok setiap orang
yang mengakses situ situ. Telenor setiap hari memblok sekitar 10.000 sampai
12.000 orang yang mencoba mengunjungi situ situ.
• Kepolisian Nasional Swedia dan Norwegia bekerjasama
dalam memutakhirkan daftar situs child pornography dengan bantuan ISP di
Swedia. Situs-situs tersebut dapat diakses jika mendapat persetujuan dari
polisi.
• Denmark Mengikuti langkah Norwegia dan Swedia, ISP
di Denmark mulai memblok situs child pornography sejak Oktober 2005. ISP di
sana bekerjasama dengan Departemen Kepolisian Nasional yang menyediakan daftar
situs untuk diblok. ISP itu juga bekerjasama dengan NGO Save the Children
Denmark. Selama bulan pertama, ISP itu telah memblok 1.200 pengakses setiap
hari.
Sebenarnya Internet Service Provider
(ISP) di Indonesia juga telah melakukan hal serupa, akan tetapi jumlah situs
yang diblok belum banyak sehingga para pengakses masih leluasa untuk masuk ke
dalam situs tersebut, terutama situs yang berasal dari luar negeri. Untuk itu
ISP perlu bekerjasama dengan instansi terkait untuk memutakhirkan daftar situs
child pornography yang perlu diblok.
Faktor penentu lain dalam pencegahan
dan penanggulangan cybercrime dengan sarana non penal adalah persoalan tentang
etika. Dalam berinteraksi dengan orang lain menggunakan internet, diliputi oleh
suatu aturan tertentu yang dinamakan Nettiquette atau etika di internet.
Meskipun belum ada ketetapan yang baku mengenai bagaimana etika berinteraksi di
internet, etika dalam berinteraksi di dunia nyata (real life) dapat dipakai
sebagai acuan. Kasus ini juga masuk kedalam kategori penghinaan atau pencemaran
nama baik di internet.
F. PENANGGULANGAN CYBER CRIME
Menjawab tuntutan dan tantangan
komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang diharapkan (ius
konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan
serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan
Internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti
kerugian materi dan non materi. Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang -
Undang khusus/ cyber law yang mengatur mengenai cybercrime Tetapi, terdapat
beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para
pelaku cybercrime terutama untuk kasuskasus yang menggunakan komputer sebagai
sarana.
0 komentar :
Posting Komentar